Para Ilmuwan atau Ulama dahulu, dalam proses menuntut ilmu memiliki
semangat yang kuat sehingga menjadi sosok ilmuwan yang di akui dan memberikan
kemaslahatan sampai sekarang. Semangat tersebut patut menjadi teladan bagi kita
dalam semangat mencari ilmu. Berikut ini beberapa
kisah menakjubkan tentang kesungguhan para Ulama dalam menuntut ilmu :
Friday, 31 January 2014
Menuntut Ilmu
1.
Pengertian
Kata ilmu dalam bahasa Indonesia berasal
dari kata al-‘ilmu dalam bahasa Arab. Secara bahasa (etimologi) kata al-‘ilmu
adalah bentuk masdar atau kata sifat dari kata `alima – ya`lamu- `ilman. Dijelaskan
bahwa lawan kata dari al-‘ilmu adalah al-jahl (bodoh/tidak tahu).
Sehingga jika dikatakan alimtu
asy-syai’a berarti “saya mengetahui sesuatu”.
Sementara secara istilah (terminologi)
ilmu berarti pemahaman tentang hakikat sesuatu. Ia juga merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang
diketahui dari dzat (esensi), sifat dan makna sebagaimana adanya. Dalam kitab Tafsir Aisar
at-Tafaasir dijelaskan bahwa:
Artinya : “Ilmu
itu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah, barang siapa yang tidak
mengenal Allah, maka dia tidak mempunyai rasa takut pada-Nya. Sesungguhnya yang takut
kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”
2.
Semangat Menuntut Ilmu
Umat Islam wajib
menuntut ilmu yang selalu dibutuhkan setiap saat. Ia wajib shalat, berarti
wajib pula mengetahui ilmu mengenai shalat. Diwajibkan puasa, zakat, haji dan
sebagainya, berarti wajib pula mengetahui ilmu yang berkaitan dengan hal
tersebut, sehingga apa yang dilakukannya mempunyai dasar. Dengan ilmu berarti
manusia mengetahui mana yang harus dilakukan mana yang tidak boleh dilakukan.
Demikian juga dalam hidup kemasyarakatan, interaksi antar sesama manusia juga
harus di dasari dengan ilmu, sehingga tercipta suatu masyarakat yang kondusif
dan damai. Allah berfirman dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 122 :
Artinya : “Dan
tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang).
Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk
memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya”. (QS. At Taubah : 122)
Ayat di atas memberikan pemahaman kepada kita
bahwa sebagai orang beriman; semangat, tenaga dan pikiran tidak dibenarkan
hanya untuk usaha memenuhi kepuasan nyata seperti perang. Akan tetapi semangat, tenaga
dan pikiran juga untuk usaha menuntut ilmu terutama pengetahuan agama untuk kemanfaatan diri sendiri dan orang lain.
Ilmu merupakan penuntun manusia memahami ayat-ayat Allah baik Qauliyah maupun
Kauniyah sehingga mampu mamaknai hakekat hidup dan akhirnya memperoleh
keselamatan dunia dan akhirat.
Dalam menuntut
ilmu hendaklah tetap tabah dan sabar dalam menghadapi berbagai macam bahaya dan
ujian mental yang muncul. Sebab gudang kesuksesan adalah di dalam menghadapi
cobaan. Maka siapa yang ingin berhasil maksud dan tujuan menuntut ilmu harus
bersabar menghadapi banyaknya cobaan. Syeh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’allim
mangatakan, pernah kudengar sya’ir yang konon merupakan gubahan dari Sayyidina
Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah :
Artinya :
·
Ingatlah, kamu tidak akan memperoleh ilmu pengetahuan
kecuali dengan enam perkara ; yang akan kujelaskan semua kepadamu secara
ringkas.
·
Yaitu : kecerdasan, minat yang besar, kesabaran, bekal yang
cukup, petunjuk guru, dan waktu yang lama.
3.
Patuh kepada Orang Tua dan Guru
Selain
syarat tersebut di atas kunci kesuksesan dalam ilmu adalah patuh kepada orang
tua dan guru, yaitu menghormati mereka baik ketika masih hidup maupun sudah
meninggal. Kita harus bersikap sopan dan santun kepada orang tua dan guru baik
dalam ucapan maupun perbuatan, selalu mendoakan mereka jika sudah meninggal
minimal setiap setelah shalat.
Orang yang paling dekat dan berjasa kepada kita adalah kedua orang tua.
Merekalah yang membawa kita ke dunia ini dengan izin Allah. Betapa besar jasa
mereka sehingga kita tidak akan mampu menghitung dan membalasnya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita
harus berbakti kepada kedua orang tua. Allah menempatkan kewajiban berbakti
kepada orang tua pada peringkat kedua setelah kewajiban menyembah Allah swt. Firman Allah swt dalam Al Qur’an surat Al Isra’ ayat 23 :
Artinya: Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. (QS. Al Isra’ : 23)
Begitu besarnya jasa orang tua kita sehingga
keridlaan dan kemurkaan Allah tergantung pada keridlaan dan kemurkaan keduanya.
Rasulullah saw bersabda:
Artinya:”Keridaan Allah tergantung pada keridaan orang
tua dan kemurkaan Allah tergantung pula pada kemurkaan keduanya.” (HR.
Tabrani).
Guru
adalah orang yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu kepada kita. Dalam paradigma Jawa, guru bermakna “digugu
dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu
yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam
melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru
(diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya segala
tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri teladan oleh peserta didiknya.
Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekedar transformasi ilmu,
tapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasikan ilmunya pada peserta
didiknya.
Guru
yang menjadikan kita orang beriman, mengerti hal yang baik dan buruk, gura juga
menjadikan kita orang yang pandai dan memahami ilmu pengetahuan, sehingga kita
akan memperoleh kedudukan yang tinggi di hadapan Allah dan manusia sebagaimana
firman Allah swt:
Artinya: ”Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(Q.S. Al-Mujahadah:11)
Di
samping itu, para penuntut ilmu dijanjikan oleh Rasulullah saw. akan diberikan
kemudahan jalan ke surga. Perhatikan hadits di bawah ini:
مَنْ
سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا اِلَى الْجَنَّةِ
ـ رواه مسلم
Artinya: “Barang siapa menempuh suatu jalan untuk
menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.
Muslim).
(dilansir dari buku PAI kelas X: H. Muhtadi, M.Ag. dkk)
Label:
Akhlak
Thursday, 23 January 2014
Strategi dan Substansi Dakwah Rosulullah SAW Periode Madinah
Pekerjaan besar yang dilakukan Rasulullah SAW dalam periode Madinah adalah pembinaan terhadap masyarakat Islam yang baru terbentuk. Dasar-dasar kebudayaan yang diletakkan oleh Rasulullah SAW itu pada umumnya merupakan sebuah nilai dan norma yang mengatur manusia dan masyarakat dalam hal yang berkaitan dengan peribadatan, social, ekonomi dan politik yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
a.
Dalam membina
masyarakat Islam di Madinah strategi dakwah yang dilakukan
Rasulullah SAW antara lain :
1)
Mendirikan Masjid. Beliau dahulukan mendirikan masjid sebelum
bangunan-bangunan lainnya selain kediaman beliau sendiri, karena masjid
mempunyai potensi yang sangat vital dalam menyatukan umat dan menyusun kekuatan
mereka lahir dan batin untuk membina masyarakat Islam atau daulah Islamiyah
berlandaskan semangat tauhid. Di masjid ini Rasulullah SAW mengobarkan semangat
jihat di jalan Allah SWT, sehingga kaum muslimin waktu itu belum begitu
banyak tetapi rela mengorbankan harta
dan jiwa untuk kepentingan Islam. Di masjid pula beliau senantiasa mengajarkan
doktrin tauhid dan mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam kepada kaum muhajirin
dan ansor. Dan di dalam masjid pula kaum muslimin mengadakan sholat berjamaah,
mengadakan musyawarah untuk merundingkan masalah-masalah yang di hadapi.
2)
Mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Ansor. Kaum
Muhajirin yang jauh dari sanak saudara dan kampung halaman mereka, di pererat
oleh beliau dengan mempersaudarakan mereka dengan kaum Ansor karena kaum Ansor
telah menolong mereka dengan ikhlas dan tidak memperhitungkan keuntungan yang
bersifat materi, melainkan hanya karena mencari keridhaan Allah SWT semata.
Sebagai contoh Abu Bakar dipersaudarakn dengan Harits bin Zaid, Ja’far bin Abi
Thalib dengan Muadz bin Jabal, Umar bin Khattab dengan Itbah bin Malik, begitu
seterusnya tiap-tiap kaum Ansor dipersaudaran dengan kaum Muhajirin. Dengan
demikian kaum muhajirin yang bertahun-tahun berpisah dengan keluarganya merasa
tentram dan aman melaksanakan syariat agamanya. Di tempat yang baru tersebut
sebagian ada yang hidup berniaga ada yang bertani seperti (Abu Bakar, Utsman
dan Ali) mengerjakan tanah kaum Ansor. Dengan ikatan teguh ini Nabi Muhammad
SAW dapat menyatukan dengan ikatan persaudaraan Islam yang kuat yang terdiri
dari berbagai macam suku dan kabilah ke dalam satu ikatan masyaraka Islam yang
kuat dengan semangat bergotong royong, senasib sepenanggunan. Segolongan
orang arab yang menyatakan masuk Islam dalam keadaan miskin disediakan tempat
tinggal dibagian masjid yang kemudian dikenal dengan nama Ashab Shuffa. Keperluan hidup mereka dipikul
bersama diantara Muhajirin dan Ansor.
3)
Perjanjian Perdamaian dengan kaum Yahudi. Guna
menciptaka suasana tentram di kota baru bagi Islam (Madinah), Nabi Muhammad SAW
membuat perjanjian persahabatan dan perdamaian dengan kaum Yahudi yang berdiam
di dalam dan di sekeliling kota Madinah. Inilah salah satu perjanjian yang
diperlihatkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai seorang ahli politikus yang ulung
yang belum pernah dilakukan oleh para nabi-nabi terdahulu. Diantara isi
perjanjian yang dibuat oleh Nabi SAW dengan kaum Yahudi antara lain :
a) Bahwa kaum Yahudi hidup damai bersama-sama kaum muslimin;
kedua belah fihak bebas memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing.
b) Kaum muslimin dan kaum Yahudi wajib tolong menolong untuk
melawan siapa saja yamg memerangi mereka. Orang Yahudi memikul belanja mereka
sendiri begitu pula kaum muslimin juga memikul belanja mereka sendiri.
c) Kaum muslimin dan kaum yahudi wajib nasehat menasehati,
tolong menolong, melaksanakan kebajikan dan keutamaan.
d) Bahwa kota Madianah adalah kota suci yang wajib dihormati
oleh mereka yang terikat dengan perjanjian itu. Kalau terjadi perselisihan
antara kaum Yahudi dengan kaum Muslimin, maka urusannya hendaklah diserahkan
kepada Allah dan Rasullullah SAW.
e) Bahwa siapa saja yang tinggal di dalam atau di luar kota
Madinah wajib dilindungi keamanan dirinya, kecuali orang-orang yang zalim dan
bersalah, sebab Allah SWT menjadi pelindung orang-orang yang baik dan berbakti.
Perjanjian politik yang dibuat oleh Nabi Muhammada SAW
tersebut telah menjamin kemerdekaan beragama dan menjamin kehormatan jiwa dan
harta dari golongan yang bukan Islam. Ini adalah merupakan peristiwa yang baru
dalam dunia politik dan peradaban manusia. Sebab waktu itu diberbagai pelosok
dunia masih terjadi perkosaan dan perampasan hak-hak asasi manusia.
4) Meletakkkan dasar-dasar Politik, Ekonomi dan Sosial untuk masyarakat
Islam. Karena masyarakat Islam telah terwujud, maka Rasulullah
SAW menentukan dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat Islam yang baru terwujud
itu, baik dalam bidang politik, ekonomi, social maupun yang lainnya. Hal ini
disebabkan karena dalam periode perkembangan agama Islam di Madinah inilah
telah turun wahyu Allah SWT yang mengandung perintah berzakat, berpuasa, dan
hukum-hukum yang bertalian dengan pelanggaran atau larangan, jinayat (pidana)
dan lain-lain. Dengan ditetapkannya dasar-dasar politik, ekonomi, social dan
lainnya, maka semakin teguhlah bentuk-bentuk masyarakat Islam, sehingga semakin
hari pengaruh agama Islam di kota Madinah semakin bertambah besar.
5) Memelihara dan mempertahankan masyarakat Islam. Jumlah
orang-orang yang mengakui kerasulan Muhammad SAW bertambah dengan amat cepat,
sehingga dalam waktu yang sangat singkat kekuatan Islam sudah mulai
diperhitungkan oleh orang-orang yang tidak menyukainya. Ada tiga kekuatan yang
secara nyata memusuhi agama baru ini yaitu : orang-orang Yahudi, orang-orang
munafik, dan orang-orang Quraiys dengan sekutunya.
a)
Rongrongan
Kaum Yahudi.
Orang Yahudi sejak sebelum masehi sudah hidup di Madinah,
mereka terdiri dari 3 suku yaitu Bani Qainuqa, Bani Quraidhah dan Bani Nadzir. Mereka
semua mempercayai akan kedatangan nabi akhir zaman sebagaimana dijelaskan dalam
kitab suci mereka. Akan tetapi ketika nabi yang ditunggu-tunggu itu datang,
mereka mengingkarinya karena mereka menduga dan menghendaki bahwa nabi yang ditunggu-tunggu
itu berasal dari golongan mereka yaitu keturunan Israel. Apalagi setelah bangsa
Arab memeluk agama Islam mendahului mereka. Kekecewaan mereka sudah tak bias
disembunyikan lagi. Lihat Q.S. Al-Baqoroh : 89. Mereka memang pernah mengikat
perjanjian dengan kaum muslimin, akan tetapi tidak dilandasi dengan ketulusan
hati yang jujur dan mereka mengira bahwa kaum muslimin adalah kelompok yang
lemah yang tidak akan mampu menghadapi kekuatan kafir Quraiys. Mereka terkejut
ketika Rasulullah SAW dan para pengikutnya berhasil memporak-porandakan tentara
Quraiys dalam perang Badar 17 Ramadhan 2 H.
b)
Rongrongan orang-orang Munafik.
Keberadaan
orang-orang munafik tidak bisa di abaikan begitu saja sebagai ancaman yang
sangat membahayakan. Pengaruh mereka memang tidak begitu besar, namun apabila
dibiarkan bisa menimbulkan malapetaka yang merugikan perjuangan umat Islam.
Sekalipun mereka mengaku beriman kepada Rasulullah SAW, namun acap kali mereka
menghalang-halangi orang lain masuk Islam. Ketika Rasulullah SAW bersiap
menghadapi perang Uhud, kaum munafik keluar dari barisan yang dipersiapkan atas hasutan Abdullah bin Ubai, pemimpin
mereka. Mereka juga mengadakan hubungan baik dengan kaum Yahudi dan pernah
menjanjikan bantuan kepada Bani Quraidhah sewaktu yang disebut terakhir ini
menghianati kaum muslimin.
c) Rongrongan kafir Quraisy dan sekutunya.
Sikap permusuhan kafir Quraiys terhadap Islam tidak
berhenti dengan kepindahan Rasulullah SAW dan para sahabatnya ke Madinah. Atas
sikap mereka itu Allah SWT menurunkan ayat yang mengizinkan umat Islam
mengangkat senjata untuk membela diri, karena mereka sungguh dianiaya
(biannahum dzulimu), lihat Q.S. Al-Ahzab : 39-40. Ini adalah
ayat pertama yang diturunkan oleh Allah SWT mengenai perang. Ayat ini menjadi
alasan bagi Rasulullah SAW untuk membentuk pasukan yang dipersiapkan untuk
terjun ke medan pertempuan. Pasukan yang pertama dibentuk adalah untuk
berjaga-jaga menghadapi serangan dari suku-suku Badui dan kafir Quraiys serta
sekutunya. Orang yang boleh diperangi adalah orang yang telah merampas hak,
baik harta maupun jiwa dan menghalangi untuk beriman kepada Allah SWT dan
melaksanakan ajarannya (lihat Q.S. Al-Baqoroh : 190-191). Perang sebagai
jawaban atas permusuhan kafir Qurisy terjadi pertama kali dilembah Badar pada
tanggal 17 Ramadhan 2 H. Dalam Al-Qur’an peristiwa ini disebut dengan yaumul
furqon, yakni hari pemisah antara yang hak dan yang bathil. Kendatipun
pasukan Islam jauh lebih kecil (sekitar 300 orang) namun berhasil meraih
kemenangan dari pasukan kafir Quraiys yang jumlahnya sekitar 1000 orang. Hal
ini membuat orang-orang Yahudi geram dan kecewa. Mereka mulai menunjukkan sikap
tidak bersahabat dengan orang muslim dan berusaha menusuk dari belakang.
Sementara itu kafir Quraiys berusaha membalas kekalahan dengan mempersiapkan
3000 pasukan dengan perbekalan dan persenjataan yang lengkap berangkatlah
menuju kota Madinah. Turut ambil bagian dalam pasukan kafir ini adalah suku
Arab Tihamah, Kinanah, Bani Harist, Bani Haun dan Bani Musthaliq. Pada bulan
Sya’ban 3 H terjadilah perang Uhud, dalam peperangan ini kaum muslimin
menderita kekalahan akibat keluarnya sebagian pasukan muslimin yang diprovokasi
oleh orang munafik bernama Abdullah bin Ubay sehingga kaum muslimin yang
berjumlah 1000 orang tinggal kurang lebih dua pertiganya. Dalam peperangan ini
dari kaum muslimin yang gugur sebagai syuhada 70 orang, termasuk paman Nabi SAW
yang bernama Hamzah bin Abdul Muthalib. Kesempatan ini membuat kesempatan orang
Yahudi bani Nadzir untuk menghancurkan kaum muslimin. Mereka berusah
membunuh Rasulullah SAW, namun gagal
sehingga mereka di usir dari Madinah. Pada bula syawal 5 H kurang lebih 14.000
tentara kafir termasuk 4000 kafir Quraiys di bawah pimpinan Abu Sofyan menyerbu
Madinah. Menghadapi serbuan ini Rasulullah SAW memilih bertahan di kota. Atas
saran Salman Al-Farisi kaum muslimin membuat parit-parit di setiap lorong untuk
masuk ke kota Madinah. Tidak ada pilihan lain bagi kafir untuk mengepung kota
Madinah. Akan tetapi setelah 25 hari pengepungan, perasaan jenuh mulai muncul
terutama pada kelompok-kelompok yang tidak mempunyai kepentingan karena yang
jelas punya kepentingan adalah kaum kafir dan orang Yahudi. Pada saat yang sama
seorang pemimpin Arab Nu’aim bin Mas’ud menghadap Rasulullah SAW dan menyatakan
masuk Islam. Tepat pada saat yang menyulitkan kaum muslimin, datanglah badai
padang pasir yang mematikan disertai hujan lebat yang menyapu bersih kemah
dan perbekalan mereka (lihat Al-Ahzab :
9). Akhirnya terpaksa mereka kembali dan menyelamatkan diri tanpa membawa
apa-apa (lihat Al-Ahzab : 25). Perang ini dikenal dengan nama perang Khandaq,
karena kaum muslimin menggunakan parit (khandaq) untuk pertahanan mereka.
Dikenal pula dengan sebutan perang Ahzab karena musuh yang menyerang madinah
terdiri dari berbagai golongan yang bersekutu (Al-Ahzab). Dalam perang ini
gugur 6 sahabat Rasululllah SAW termasuk Sa’ad bin Muadz, mereka gugur sebagai
syuhada. Demikian kaum muslimin mempertahankan diri dan serangan yang dilakukan
tetap tidak keluar dari kerangka mempertahankan diri.
Fase perjuangan setelah Perang Ahzab. Pada
bulan Dzulqo’dah 6 H Rasulullah SAW beserta 10.000 orang sahabatnya berangkat
ke Makkah untuk menunaikan umroh dan haji. Mereka sudah mengenakan pakaian
ihrom sejak berangkat dan membawa hewan-hewan yang akan disembelih di Mina agar
tidak dicurigai oleh kaum Quraisy. Akan tetapi kafir Quraisy tidak menghendaki
kaum muslimin memasuki kota Makkah, karena apapun alasannya berarti itu
kemenangan bagi kaum muslimin. Oleh karena itu kafir Quraiys mengirim pasukan
di bawah pimpinan Khalid bin Walid untuk menghadang kaum muslimin. Kaum
muslimin dapat menghidari pertemuan dengan pasukan Khalid bin Walid dengan
menempuh jalan lain, sehingga ketika masuk bulan haram mereka sudah sampai di
Hudaibiyah, beberapa mil dari kota Makkah. Rasulullah SAW bermusyawrah
dengan para sahabatnya kemudian mengutus Usman bin Affan untuk menemui kaum
kafir Quraisy guna menyampaikan maksud kedatangan mereka ke Makkah. Akan tetapi
Usman bin Affan malah di tahan oleh mereka dan muncul desas desus bahwa Usman
mau di bunuh. Rasulullah SAW dengan para sahabatnya mengadakan sumpah setia
untuk berperang sampai tercapai kemenangan. Sumpah setia ini terkenal dengan
nama Baiah Ar-Ridwan (sumpah yang diridhai Allah SWT). Sumpah ini
menggetarkan nyali kaum musyrikin Quraiys sehingga Usman bin Affan dibebaskan
dan mereka mengutus Suhail bin Amr untuk mengadakan perjanjian dengan kaum
muslimin. Perjanjian inilah yang kemudian terkenal dengan nama Perjanjian
Hudaibiyah yang pokok-pokok isinya antara lain :
a) Segala permusuhan kedua belah fihak dihentikan selama 10
tahun.
b) Setiap orang Quraiys yang datang kepada kaum muslimin
tanpa seijin walinya harus di tolak dan dikembalikan.
c) Setiap orang Islam yang menyerahkan diri kepada fihak
Quraiys tidak akan dikembalikan.
d) Setiap kabilah yang ingin bersekutu dengan kaum Quraiys
maupun dengan kaum muslimin tidak boleh dihalang-halangi oleh salah satu fihak.
e) Kaum muslimin tidak boleh memasuki kota Makkah pada tahun
itu, namun diberi kesempatan pada tahun berikutnya dengan syarat tidak membawa
senjata kecuali pedang dalam sarungnya dan tidak boleh tinggal di Makkah lebih
dari 3 hari.
Dalam
peristiwa ini Rasulullah SAW menunjukkan kemampuannya sebagai seorang politikus
yang pandai berdeplomasi. Perjanjian ini menunjukkan pengakuan Quraiys terhadap
eksistensi kaum muslimin dan ini berarti kemenangan bagi umat Islam. Sepintas
lalu perjanjian tersebut memang berat sebelah dan merugikan kaum muslimin. Akan
tetapi selama gencatan senjata banyak tokoh Qurays yang masuk Islam seperi
Kholid bin Walid, Amr bin Ash dan Usman bin Thalhah. Selama genjatan senjata
berlangsung, Rasulullah SAW mulai mendakwahkan Islam kepada kabilah-kabilah
Arab lainnya, dan mengirimkan surat kepada Kaisan Romawi, Kisra Persia,
Gubernur Yaman, Kaisan Habsyi, Gubernur Ghassaniah (Basro di bawah kekuasaan
Romawi) dan gubernur Mesir. Kisra dari
Persia dengan keangkuhannya merobek-robek surat dari Rasulullah SAW dan
menghina serta mengusir pembawanya. Dalam pada itu Harits bin Umar yang di utus
Rasulullah SAW kepada Gubernur Ghassaniyah di tolak dengan kasar dan kemudian
di bunuh. Penghinaan yang dilakukan Gubernur Ghassaniyah dan pembunuhan atas
Harits bin Umar memicu berkorbannya perang Mu’tah. Dalam perang ini
panglima muslim Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid. Kepemimpinannya
dilanjutkan oleh Abdullah bin Ruwahah namun iapun gugur. Demikian pula Ja’far
bin Abi Thalib yang menggantikan Abdullah gugur di tangan tentara Romawi.
Khalid bin Walid yang tampil menggantikan Ja’far, dengan naluri seorang panglima
berpengalaman memberi komando kepada pasukannya supaya mundur dan kembali ke
Madinah. Ini terjadi pada tahun 8 H. Peristiwa ini menyadarkan kepada kaum
muslimin bahwa di utara ada musuh yang tidak bisa di remehkan. Pada tahun
ketika terjadi perang Mu’tah orang-orang Quraiys membantu sekutu mereka Bani
Bakar yang berselisih dengan Bani Khuza’ah (sekutu kaum muslimin).
Tindakan ini
berarti melanggar perjanjian Hudaibiyah. Menanggapi sikap kaum Quraiys ini pada
10 Ramadhan 8 H, Rasulullah SAW memimpin 10.000 pasukan berangkat berangkat
menuju Makkah. Ketika pasukan besar itu berkemah di dekat kota Makkah, Abbas
bin Abdul Muthalib datang menyatakan keIslamannya, disusul Abu Sofyan pemimpin
besar Quraiys yang sudah kandas dengan ambisinya. Setelah Abu Sofyan menyerah,
Rasulullah SAW memerintahkan pasukannya untuk memasuki kota Makkah lewat 4
penjuru. Dengan demikian Makkah jatuh ke tangan kaum muslimin
tanpa perlawanan sama sekali. Patung-patung dan berhala di sekeliling Ka’bah
mereka hancurkan kemudian mereka thawaf mengelilingi Ka’bah dan kemudian
turunlah QS. Al-Isro’
: 81. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Ramadhan 8 H. Inilah yng disebut
dengan Fathul Makkah. Dengan pembebasan kota Makkah bukan berarti musuh
Islam sudah lenyap, kabilah-kabilah di sekitar Makkah seperti Badui, kaum
Masehi di Najran, dan beberapa kabilah yang terdiri dari Hawazin, Tsaqif,
Jusyam, Nasr, Sa’ad bin Bakar dan Bani Hilal membentuk persekutuan baru untuk
menyerang kaum muslimin. 10.000 pasukan
dari Madinah + 2.000 dari Makkah segera disiapkan untuk menyerang para
komplotan sebelum mereka menyerang. Ketika pasukan kaum muslimin melewati
jalan-jalan sempit di sela-sela bukit Hunain pegunungan Tihamah tiba-tiba
diserang dengan membabi buta hingga membuat pasukan kaum muslimin sempat kocar
kacir. Kemudian Rasullullah SAW berdiri ditemani tidak kurang dari 100 sahabat termasuk Abu Bakar, Umar,
Ali dan Abbas memberikan komando untuk melakukan serangan balik dan akhirnya
musuh dapat taklukkan. Sisa-sisa musuh yang kalah melarikan diri ke Thaif
termasuk pemimpin mereka Malik bin Auf
dan bertahan di benteng kota yang terkenal sangat kuat. Kaum muslimin
mengepung benteng itu beberapa waktu lamanya namun tidak berhasil. Akhirnya
Rasulullah SAW kembali ke Ja’ronah dan tetap memblokir daerah sekitarnya. Pada
saat itulah kabilah Hawazin menyerah dan menyatakan masuk Islam, begitu juga
penduduk Thaif yang menderita akibat blokade kaum muslimin juga menyatakan
masuk Islam.
Pada bulan Rajab 9 H bertepatan dengan bulan oktober
630 M. Rasulullah SAW mempersiapkan pasukan untuk menghadapi tentara Romawi di
utara. Karena medan yang dituju amat jauh dan musuh yang dihadapi sangat kuat
dan terlatih maka Rasulullah SAW membentuk pasukan khusus yang dinamakan “Jaisyul
Usroh”, (Laskar Saat Kesulitan) karena pada waktu sedang terjadi musim
panas dan di Madinah sedang musim panen. Seluruh biaya perang di tanggung oleh
beberapa sahabat yang kaya seperti Abu Bakar mendermakanseluruh hartanya,
Utsman mendermakan 300 unta dan uang 1000 dinar. Pasukan Romawi yang semula
akan menyerang tentara Islam, mundur kembali ke negerinya setelah melihat
betapa besar jumlah pasukan lawan yang dipimpin Rasulullah SAW dan
pahlawan-pahlawan padang pasir yang tak kenal mundur. Kaum muslimin tidak
mengejar mereka tetapi berkemah di Tabuk. Oleh karena itu peristiwa itu dikenal
dengan nama perang Tabuk.
Sesudah Islam mencapai kemenangan hampir diseluruh
jazirah Arab hanya kabilah-kabilah yang terpencar-pencar yang belum menganut
Islam. Ketika pemuka-pemuka kabilah itu mengetahui bahwa Makkah sudah di kuasai
oleh kaum muslimin, mereka menyadari tidak mungkin lagi ada kekuatan yang mampu
memerangi kaum muslimin. Oleh Karen itu, sejak tahu 9 H (630/631 M) para utusan
kabilah-kabilah Arab datang berbondong-bondong menghadap Rasulullah SAW
menyatakan masuk Islam. Mereka itu antara lain Bani Tsaqif dari Thaif, Bani
As’ad dari Najd, Bani Tamim disusul kemudian oleh utusan dari Yaman dan
sekitarnya pada tahu 10 H. Oleh Karena itu tahun ini disebut tahun perutusan
atau ‘Am Al-Wufud. Demikianlah Islam telah merata diseluruh jazirah Arab
setelah Rasulullah SAW berjuang lebih dari 20 tahun. Bangsa Arab yang
sebelumnya berpecah belah dan selalu bermusuhan, kini bersatu di bawah seorang
pemimpin dan bernaung di bawah satu panji yaitu panji Islam.
(dilansir dari buku PAI kelas X: H. Muhtadi, M.Ag. dkk)
Label:
Tarikh
Hijrah Ke Yasrib
Setelah
Baiah Aqobah ke dua tindakan kekerasan terhadap kaum muslimin makin meningkat,
bahkan musyrikin Quraisy sepakat akan membunuh Rasulullah SAW. Menghadapai
kenyataan ini Rasulullah SAW menganjurkan kepada para sahabatnya untuk hijrah
ke Yatsrib. Kelompok orang lemah diperintahkan lebih dulu karena merekalah yang
paling banyak menderita penganiayaan dan paling sedikit mendapatkan
perlindungan. Rasulullah SAW sendiri baru meninggalkan Makkah setelah seluruh
kaum muslimin keluar dari Makkah kecuali Ali dan keluarganya, berikut Abu Bakar
dan keluarganya. Ketika akan berangkat Rasulullah SAW meminta Ali untuk tidur
di kamarnya untuk mengelabuhi musuh yang berencana membunuhnya. Beliau
berangkat ke gua Tsur, arah selatan Makkah ditemani oleh Abu Bakar. Mereka
bersembunyi di gua Tsur selama 3 malam. Tidak ada yang tahu tentang keadaan dan
tempat persembunyian mereka selain putera puteri Abu Bakar sendiri, Abdullah,
Aisyah dan Asma serta sahayanya Amir bin Fuhairoh. Merekalah yang mengirimkan
makanan setiap malam dan menyampaikan kabar mengenai pergunjingan penduduk
Makkah tentang Rasulullah SAW.
Pada malam ketiga mereka keluar dari persembunyiannya
untuk melanjutkan perjalanan menuju Yatsrib ditemani oleh Abdullah bin Abi
Bakar dan Abdullah bin Arqod seorang musyrik yang bertugas sebagai petunjuk
jalan. Rombongan ini bergerak ke arah barat menuju laut merah kemudian belok ke
utara mengambil jalan yang tidak biasa dilalui oleh kafilah-kafilah pada
umumnya. Setelah mengarungi padang pasir yang sangat luas dan amat panas
akhirnya pada hari Senin, tanggal 8 Rabi’ul Awal tahun I Hijriyah, tibalah Nabi
Muhammad SAW di Quba, sebuah tempat kira-kira 10 km dari kota Yatsrib.
Selama 4 hari di Quba beliau menginap di rumah Kultsum
bin Hadam, seorang laki-laki tua yang rumahnya sering dijadikan pangkalan bagi
orang-orang yang baru datang ke Yatsrib. Sedangkan Abu Bakar menginap di rumah
Hubaib bin Isaf. Selam 4 hari istirahat, Nabi SAW mendirikan sebuah Masjid,
yaitu masjid Quba. Itulah masjid yang pertama kali didirikan dalam
sejarah umat Islam. Rasulullah SAW yang meletakkan batu pertama di kiblatnya,
diikuti oleh Abu Bakar kemudian diselesaikan oleh para sahabatnya. Tiga
hari kemudian Ali bin Abi Thalib tiba di Quba selama menempuh perjalanan selama
15 hari. Ia bergabung dengan Rasulullah SAW tinggal di rumah Ibnu Hadam. Keesokan
harinya jum’at 12 Rabiul Awal bertepatan dengan 24 September 622 M rombongan
muhajirin ini melanjutkan perjalanan ke Yatsrib.
Kedatangan Rasulullah SAW disambut dengan hangat penuh kerinduan oleh
kaum Ansor. Begitu sampai di kota ini beliau melepas tali kekang unta yang
ditungganginya dan membiarkan unta itu berjalan sekehendaknya. Unta itu baru
berhenti di sebidang kebun yang di tumbuhi beberapa pohon kurma bersebelahan
denga rumah Abu Ayyub. Kebun ini milik dua anak yatim bersaudara yang di asuh
oleh Abu Ayyub bernama Sahl dan Suhail putera Rafi’ bin Umar. Atas permintaan
Muadz bin Ahro’, kebun ini di jual dan
di atasnya di bangun masjid atas perintah Rasuluulah SAW. Sejak kedatangan
Rasulullah SAW Yatsrib berubah namanya menjadi Kota Madinah atau Madinatur
Rasul atau Madinatul Munawwaroh.
Setelah
menetap di Madinah ini Rasulullah SAW barulah memulai rencana mengatur siasat
dan membentuk masyarakat Islam yang bebas dari tekanan dan ancaman,
mempertalikan hubungan kekeluargaan antara kaum Muhajirin dan Ansor, mengadakan
perjanjian saling membantu antara kaum muslimin dengan bukan muslim, menyusun
siasat, ekonomi, social serta dasar-dasar Daulah Islamiyah.
(dilansir dari buku PAI kelas X: H. Muhtadi, M.Ag. dkk)
(dilansir dari buku PAI kelas X: H. Muhtadi, M.Ag. dkk)
Label:
Tarikh
Orang-orang Yasrib Masuk Islam
Sudah
menjadi kebiasaan Rasulullah SAW pada setiap musim haji mengunjungi kemah-kemah
jama’ah haji untuk menyampaikan dakwahnya. Aktivitas ini mendapat respon
sebagaimana ditunjukkan oleh Suwaid bin Shamit, seorang tokoh suku Aus dari
Yatsrib yang menyatakan tertarik pada ajakan Rasulullah SAW. Selang beberapa
lama setelah itu Iyaz bin Mu’adz seorang pemuda Khazroj juga menyatakan
keIslamannya ketika Rasulullah SAW menemui rombongan kabilah Khazroj saat
mereka datang ke Makkah. Aus dan Khazroj adalah dua kabilah Arab terkemuka di
Yatsrib yang selalu bermusuhan. Mereka sedikit banyak sudah memiliki pengertian
tentang ketuhanan, wahyu, kenabian dan hari akhir.
Pada musim haji
tahun ke 11 dari kenabian, beberapa orang Khazroj, dua diantaranya Bani Najron
masuk Islam. Sejak itu Rasulullah SAW menjadi pembicaraan hangat dari penduduk
Yatsrib. Pada musim haji tahun berikutnya
12 orang laki-laki dan seorang perempuan dari Yatsrib menemui Rasulullah
SAW di
Aqobah.
Mereka berikrar tidak menyekutukan Tuhan, tidak mencuri, tidak berzina, tidak
membunuh anak-anak, tidak menfitnah dan tidak mendurhakai Muhammad SAW.
Peristiwa ini dikenal dengan Baiah Al-Aqobah Al-Ula (Baiah Aqobah pertama).
Setelah itu Rasulullah SAW mengutus Mus’ab bin Umair untuk mengajarkan Islam
kepada penduduk Yatsrib. Setahun kemudian pada malam hari seusai menunaikan
ibadah haji terjadi Baiah Al-Aqobah Ats-Tsaniyah (Baiah Aqobah kedua),
dimana 73 orang laki-laki dan dua orang perempuan dari Yatsrib bertemu dengan
Rasulullah SAW, yang waktu itu di dampingi Abbas bin Abdul Mutholib di Aqobah.
12 orang pemuka Aus dan Khazroj, masing-masing mewakili yang ada dalam
kabilahnya, mengucapkan sumpah setia akan membela Rasulullah SAW walaupun jiwa
dan harta taruhannya. Orang-orang Yatsrib itu masuk Islam tampaknya termotivasi
oleh keinginan melepaskan diri dari perbudakan orang-orang Yahudi. (dilansir dari buku PAI kelas X: H. Muhtadi, M.Ag. dkk)
Label:
Tarikh
Hikmah dan Manfaat Wakaf
Mengutip dari hadist Rasulullah SAW tentang keutaman wakaf dan hikahnya
Dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu, ”Sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda, Apabila seseorang meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah (wakaf)[4], ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan ibu bapaknya.”
dari hadist tersebut dapat kita ambil sebuah analisa bahwa wakaf merupakan amal jaryah yang tidak terputus. pada dasarnya, setiap kita yang meninggal akan terputus segala hubugan terhadap kehidupan duniawi, kita akan terpisah oleh sanak saudara, kerabat dan harta kita. namun Allah tidak memutus tali hubungan kita terhadap amal jariyah, doa anak shaleh dan ilmu yang bermanfaat. di dunia kita hidup tidak lain hanyalah persinggahan, dan tempat yang kekal abadi adalah akhirat, di dunia jadikanlah kehidupan ini sebagai tabungan amal yang baik, tabungan tersebut sebagai bekal kelak menuju jalannya syurganya Allah SWT. baik kita langsung saja ke pook pembahasan yaitu hikmah dan manfaat wakaf. berikut uraiannya;
Wakaf memiliki banyak hikmah dan manfaat baik bagi yang mewakafkan atau untuk pengguna wakaf . Untuk itu di bawah ini akan disebutkan sebagian kecil dari hikmah dan manfaat wakaf :
Dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu, ”Sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda, Apabila seseorang meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah (wakaf)[4], ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan ibu bapaknya.”
dari hadist tersebut dapat kita ambil sebuah analisa bahwa wakaf merupakan amal jaryah yang tidak terputus. pada dasarnya, setiap kita yang meninggal akan terputus segala hubugan terhadap kehidupan duniawi, kita akan terpisah oleh sanak saudara, kerabat dan harta kita. namun Allah tidak memutus tali hubungan kita terhadap amal jariyah, doa anak shaleh dan ilmu yang bermanfaat. di dunia kita hidup tidak lain hanyalah persinggahan, dan tempat yang kekal abadi adalah akhirat, di dunia jadikanlah kehidupan ini sebagai tabungan amal yang baik, tabungan tersebut sebagai bekal kelak menuju jalannya syurganya Allah SWT. baik kita langsung saja ke pook pembahasan yaitu hikmah dan manfaat wakaf. berikut uraiannya;
Wakaf memiliki banyak hikmah dan manfaat baik bagi yang mewakafkan atau untuk pengguna wakaf . Untuk itu di bawah ini akan disebutkan sebagian kecil dari hikmah dan manfaat wakaf :
1. Hikmah wakaf
a. Menghilangkan
sifat tamak dan kikir manusia atas harta yang dimilikinya.
b. Menanamkan kesadaran bahwa di dalam setiap harta benda itu
meski telah menjadi milik seseorang secara sah, tetapi masih ada di dalamnya
harta agama yang mesti diserahkan sebagaimana halnya juga zakat.
c. Menyadarkan seseorang bahwa kehidupan di akhirat memerlukan
persiapan yang cukup . Maka persiapan bekal itu diantaranya adalah
harta yang pernah diwakafkan
d. Dapat menopang dan mengerakan kehidupan sosial
kemasyarakatan umat islam, baik aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan
lainnya.
2. Manfaat wakaf
Di antara manfaat wakaf baik bagi
wakif dan pengguna wakaf adalah :
a.
Pahala yang trus menerus
mengalir selama benda yang diwakafkan masih dimanfaatkan walaupun si wakif
sudah meninggal dunia
b.
Terus-menerusnya manfaat dalam
berbagai jenis kebaikan dan tidak terputus dengan sebab berpindahnya
kepemilikan.
Label:
Fiqih
Saturday, 18 January 2014
Iman Kepada Qadha dan Qadar
Pengertian
Qadha dan Qadar
Menurut bahasa Qadha memiliki
beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan,pemerintah, kehendak,
pemberitahuan, penciptaan. Sedang menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan
qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang
segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Qadar menurut bahasa
adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam qadar adalah perwujudan
atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk
tertentu sesuai dengan iradah-Nya. Firman Allah:
الَّذِي
لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ
لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
Artinya: yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi,
dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam
kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS .Al-Furqan ayat 2).
2.
Hubungan antara Qadha dan Qadar
Telah diuraikan diatas bahwa Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana
Allah sejak zaman azali. Sedang Qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau
hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana dan perbuatan.
Perbuatan
Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan-Nya. Di dalam surat
Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut:
وَإِنْ
مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ
مَعْلُومٍ (21
Artinya
” Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak
menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”
Ayat
ini menerangkan bahwa sumber segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia,
semuanya ada dalam khazanahnya. Hanya saja untuk menggali dan mencari segala
sesuatu yang diperlukan itu hendaklah disertai dengan kerja dan usaha yang
keras; mustahillah seseorang akan memperolehnya tanpa ada usaha mencarinya. Hal
ini adalah sesuai dengan Sunnatullah. Menurut Sunnatullah bahwa orang yang akan
diberi rezeki ialah orang-arang yang berusaha dan bekerja. Sesuai dengan
Sunnatullah, maka agama Islam menganjurkan agar kaum Muslimin berusaha dengan
sekuat tenaga mencari segala sesuatu yang diperlukan di dalam perbendaharaan
Allah itu
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar
dengan satu istilah, yaitu
Qadar atau takdir. Jika ada orang
terkena musibah, lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya
qadha dan qadar.
3.Kewajiban beriman kepada dan qadar
Dalamsuatu
hadist diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh seorang
laki-laki yang berpakaian serba putih , rambutnya sangat hitam. Lelaki itu
bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah menjawab
yang artinya: Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaekat-malaekat-Nya,
kitab-kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan beriman pula kepada
qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk. Lelaki tersebut berkata” Tuan
benar”. (H.R. Muslim)
Seorang
laki-laki tersebut adalah Malaekat Jibril yang sengaja datang pada saat itu untuk
memberikan pelajaran agama kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jawaban Rasulullah
yang selalu dibenarkan oleh Malaekat Jibril itu berisi tentang rukun iman.
Salah satunya dari rukun iman tersebut adalah iman kepada qadha dan qadar.
Dengan demikian , bahwa mempercayai qadha dan qadar adalah merupakan pengakuan hati
kita. Kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi
pada diri kita, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan adalah
atas kehendak Allah.
Di dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman
yang artinya: ” Siapa yang tidak ridha dengan qadha-Ku dan qadar-Ku dan
tidak sabar terhadap bencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah
mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani)
Takdir
Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai
dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan
kita, hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan
Allah kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau
merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita
harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita belum
mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
4.Hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar
Rasulullah
SAW bersabda :
”Sesungguhnya
seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk
nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging,
kemudian Allah mengutus malaekat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan
empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan
(jalan hidupny) sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin Mas’ud).
Dari
hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah
sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya,
tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha
dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan
tidak datang dengan sendirinya.
Janganlah
sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk malas berusaha dan
berbuat kejahatan. Pernah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, seorang
pencuri tertangkap dan dibawa kehadapan Khalifah Umar. ” Mengapa engkau
mencuri?” tanya Khalifah. Pencuri itu menjawab, ”Memang Allah sudah
mentakdirkan saya menjadi pencuri.”
Mendengar
jawaban demikian, Khalifah Umar marah, lalu berkata, ” Pukul saja orang ini
dengan cemeti, setelah itu potonglah tangannya!.” Orang-orang yang ada
disitu bertanya, ” Mengapa hukumnya diberatkan seperti itu?”Khalifah
Umar menjawab, ”Ya, itulah yang setimpal. Ia wajib dipotong tangannya sebab
mencuri dan wajib dipukul karena berdusta atas nama Allah”.
Mengenai
adanya kewajiban berikhtiar , ditegaskan dalam sebuah kisah. Pada zaman nabi
Muhammad SAW pernah terjadi bahwa seorang Arab Badui datang menghadap nabi.
Orang itu datang dengan menunggang kuda. Setelah sampai, ia turun dari kudanya
dan langsung menghadap nabi, tanpa terlebih dahulu mengikat kudanya. Nabi
menegur orang itu, ”Kenapa kuda itu tidak engkau ikat?.” Orang Arab
Badui itu menjawab, ”Biarlah, saya bertawakkal kepada Allah”. Nabi pun
bersabda, ”Ikatlah kudamu, setelah itu bertawakkalah kepada Allah”.
Dari
kisah tersebut jelaslah bahwa walaupun Allah telah menentukan segala sesuatu,
namun manusia tetap berkewajiban untuk berikhtiar. Kita tidak mengetahui
apa-apa yang akan terjadi pada diri kita, oleh sebab itu kita harus berikhtiar.
Jika ingin pandai, hendaklah belajar dengan tekun. Jika ingin kaya, bekerjalah
dengan rajin setelah itu berdo’a. Dengan berdo’a kita kembalikan segala urusan
kepada Allah kita kepada Allah SWT. Dengan demikian apapun yang terjadi kita
dapat menerimanya dengan ridha dan ikhlas.
Mengenai
hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar ini, para ulama berpendapat,
bahwa takdir itu ada dua macam :
1.Takdir mua’llaq: yaitu takdir yang erat
kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contoh seorang siswa bercita-cita ingin
menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan
tekun. Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur
pertanian. Dalam hal ini Allah berfirman:
Artinya:
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di
muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya
Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan
terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak
ada pelindung bagi mereka selain Dia. ( Q.S Ar-Ra’d ayat 11)
2.Takdir mubram; yaitu takdir yang terjadi
pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar
lagi oleh manusia. Contoh. Ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan
dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.
B.Hikmah Beriman kepada Qada dan qadar
Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang
amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri
untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain:
1.Melatih diri untuk banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat
keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan
nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia
akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian
Firman
Allah:
Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka
dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya
lah kamu meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).
2.Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
Orang
yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia
menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri.
Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh
kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya
adalah ketentuan Allah.
Firman
Allah SWT:
Artinya:
Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf
ayat 87)
Sabda
Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam hatinya
ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.”( HR. Muslim)
3.Memupuk sifat optimis dan giat bekerja
Manusia
tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu
menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu
saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha
dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan
keberhasilan itu.
Firaman
Allah:
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)
4.Menenangkan jiwa
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa
mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan
apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia
bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.
Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah
hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku.( QS. Al-Fajr ayat 27-30)
(dilansir dan dikutib dari http://hbis.wordpress.com/2007/12/10/iman-kepada-qadha-dan-qadar/)
Label:
Aqidah
Subscribe to:
Posts (Atom)