Thursday, 2 December 2010

Khuluk

.Menurut bahasa, kata khulu’ berasal dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian; karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri. Allah SWT berfirman, ”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187). Para pakar fiqih memberi definisi bahwa khulu’ adalah seorang suami menceraikan isterinya dengan imbalan mengambil sesuatu darinya. Dan khulu’ disebut juga fidyah atau if fah (tebusan)
Menurut Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 dalam pasal 1 huruf i Khuluk adalah perceraian yangterjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.
Baik dalam figh maupun dalam kompilasi Hukum Islam menempatkan khuluk sebagaisalah satu jalan yang dapat ditempuh untuk melakukan perceraian dari pihak istri. Khuluk bukan sebagai alasan perceraian bagi istri untuk menanggalkan ikatan perkawinan, tetapi khuluk suatu jalan keluar yang ditetapkan syari’at bagi istri sebagaimana syari’at menetapkan talak bagi suami.


Dasar Hukum Khuluk
Syari’at khuluk didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surah al-Baqaroh ayat 229 yang berbunyi :
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri)tidakdapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang di berikan istri untuk menebus dirinya. Itulah hokum-hukum Allah. Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.[Al-Baqarah:229]

Kemudian Hadis Rasul “
Dari Ibnu Abbas R a. “Bahwa Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab,
“Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari]

Begitu juga telah terjadi Kesepakatan Ulama (ijma,Ulama) pada masalah tersebut,sebagaimana di nukilkan ibnu qudhomah, ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar, Asy-Syaukani, dan syeikh Abdullah al-Bassam, Muhammad Bin Ali.
Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma’ tentang syari’at Al-Khulu, kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin Abdillah Al-Muzani… dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang pensyariatan Khuluk


Hukum Khuluk
Para ulama Figh melakukan klasifikasi mengenai hukum Khuluk sebagai berikut :
1. Makruh . ini merupakan hukum asal khuluk . Dimana suami membenci istrinya karena buruk akhlaknya dan ia merupaya agar istri menggugat cerai melalui khuluk , maka menurut para ulama makruh bagi suami menunut tebusan dari istri
2. Mubah . Artinya bahwa perceraian melalui jalan khuluk oleh istri di bolehkan tidak dikenai dosa bagi pelakunya. Dengan ketentuan bahwa istri sangat membenci suaminya , dan dikhawatirkan istri tidak dapat menunaikan hak suaminya sebagaimana yang diperintahkan Allah Swt.
3. Haram. Hal ini dapat terjadi dari dua pihak. Pertama dari pihak suami. Dimana suami sengaja menyusahkan istri dan tidak mau berkomunikasi dengan istri, sengaja tidak memberikan hak-hak istri, dengan tujuan agar istri merasa tertekan seolah seperti di teror yang akhirnya istri tidak tahan dan menggugat suami melalui tebusan/iwadh. Dan apabila suami menceraikan istri , maka suami tidak berhak mengambil tersebut. Kecuali istri melakukan perbuatan keji seperti berzina atau melakukan perbuatan maksiat maka suami dapat membuat suatu kondisi yang menyusahkan istri agar membayar tebusan melalui jalan khuluk. Sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 12 yang berbunyi :
Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.
Kedua dari pihak istri . Dimana istri meminta cerai padahal keadaan rumah tangganya berjalan baik tidak ada alasan syar,i yang membenarkan perceraiannya melalui jalan khuluk. Sesuai hadis rasul yang mengatakan :
“Semua wanita yang minta cerai dari suaminya tanpa alas an, maka haram baginya mencium bau surga. (HR abu Daud)’’
4. Sunnat. Apabila suami berlaku Mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, seperti suami meremehkan shalat, puasa dan meremehkan ajaran ajaran agama, maka disunnahkan istri menggugat cerai suami melalui jalan khuluk. *figh Sunnah

5. Wajib. Dimana suami memilki keyakinan atau perbuatan yang dapat mempengaruhi aqidah istri keluar dari Islam. Sementara Istri tidak mampu membuktikan perbuatan suami tersebut di depan Pengadilan. Atau istri mampu membuktikan keyakinan dan perbuatan suami di atas tetapi pengadilan belum memvonis suami murtad sehingga tidak bisa bercerai, maka dalam keadaan demikian wajib bagi istri menggugat melalui jalan khuluk , karena seorang muslimah tidak selayaknya menjadi istri dari suami yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur.

Rukun Dan Syarat Khuluk
Menurut ulama figh khusus Syafiyyah menjelaskan rukun khuluk itu ada lima perkara:
(1) Al-Mujib (2) Al-Qabil (3) Mua’wad (4) ‘Iwadh (5) Shighah
Pertama : Al-Mujib (Suami)
Yang dimaksudkan dengan al-mujib ialah penyataan khuluk dari suami misalnya: “Aku ceraikan engkau atau aku mengkhuluk engkau dengan uang Rp. Satu Juta Rupiah”
Ataupun suami menjawab pertanyaan isteri, misalnya isteri berkata: “Ceraikan aku dengan Satu Juta Rupiah”. Lalu suami menjawab “Aku ceraikan engkau dengan satu Juta rupiah”. Dan syarat dari almujib hendaklah seorang suami itu yang baligh, berakal dan mampu membuat pilihan ( tidak dipaksa ). Dengan demikian maka tidak sah khulu’ seorang kanak-kanak, orang gila dan orang yang dipaksa. Adapun orang yang muflis dan safih (orang yang tidak boleh membuat keputusan sendiri dengan baik mengenai hartanya) maka khulu’ dari keduanya ini adalah sah.
Oleh itu wajiblah isteri membayar bayaran ganti, dan mestilah diserahkan bayaran ganti itu kepada wali bagi suami yang safih. Adalah tidak harus diserahkan bayaran ganti tersebut kepada suami yang safih, kerana ditakuti ia tidak dapat mengurus harta tersebut kecuali setelah mendapat izin dari walinya, maka bolehlah diserahkan bayaran ganti itu kepada suami yang safih tersebut.
Jika isteri menyerahkan bayaran ganti itu kepada suami yang safih tanpa pengetahuan wali dan harta itu lenyap, maka wajiblah atas isteri membayar mahar mitsil. Mahar mitsil ialah mahar yang sebanding dengan mahar perempuan-perempuan dalam keluarga isteri yang terdekat misalnya adik-beradik, dan jika tidak ada, hendaklah mengikut jumlah mahar yang menjadi kebiasaan bagi perempuan di daerah itu.
Misalnya, jika mahar bagi kakak atau adik dalam keluarga isteri sebesar satu Juta Rupiah, maka isteri wajib membayar sebanyak jumlah tersebut kepada wali suaminya.
Kedua : al-Mukhtali’/Istri
Adapun sebagai syarat dari Istri mesti seorang yang mukallaf, bila istri masih kanak-kanak atau masih mumayyiz maka khuluk tidak sah. Begitu juga istri dalam keadaan gila, dalam Pengampuan (tidak cakap bertindak secara hukum) maka tidak sah khuluknya.
Ketiga : Al- Mua’wad /Tebusan
Al-Mua’wad ialah tebusan yang diberikan istri kepada suami sebagai iwadh. Yang dimaksudkan di sini ialah hak suami ke atas isteri dalam perkawinan, di mana seorang isteri itu adalah di bawah kuasa suaminya. Jika berlaku khulu’ wajiblah bagi isteri membayar bayaran ganti kepada suaminya untuk menebus hak suami itu dalam perkawinan kerana khulu’ itu adalah atas kehendak isteri. Adapun sebagai syaratnya bahwa tebusan diberikan dalam keadaan suami istri masih terikat tali perkawinan.
Rukun Keempat : Al-‘Iwadh
Al-‘iwadh ialah bayaran ganti yang diambil oleh suami daripada isteri sebagai tebusannya dalam menuntut khulu’. Apakah dalam bentuk mahar yang diberikan oleh suami semasa pernikahan seperti Kasus Tsabit Bin Qois, sebagaimana hadis rasul yang berbunyi:

Maksudnya: “Bersabda Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit: “Terimalah kembali kebun itu dan ceraikanlah ia dengan satu talak”.
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari)
Atau dalam bentuk harta atau uang, sama ada nilainya sedikit atau lebih dari mahar yang diberikan saat akad nikah. Bisa juga dalam bentuk hutang ataupun mamfaat. Oleh itu setiap apa yang bisa dijadikan mahar, maka boleh dijadikan sebagai bayaran ganti rugi atau tebusan dalam khuluk
Adapun sebagai syarat iwadh ini yaitu :
1. Hendaklah ia berharga atau bernilai menurut pandangan syara’.
2. Hendaklah harta itu diketahui atau dimaklumi.
3. Hendaklah harta itu boleh diserahkan kepada orang lain.
4. Dapat dimiliki sepenuhnya.


Status Hukum Khuluk
Syariat Islam menjadikan khuluk sebagai alternatif penyelesaian konflik rumah tangga jika konflik tidak bisa di selesaikan dengan baik-baik. Lalau bagaimana status hukum khuluk bila telah di tetapkan , apakah ia talak atau fasakh? Dalam masalah ini , para ulama terbagi menjadi tiga pendapat.
Pendapat Pertama
Khuluk adalah talak Bain, ini pendapat mazhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi,i dalam qoul jadid.
Pendapat Kedua.
Khuluk adalah talak Raj’i , ini pendapat Ibnu Hazm.
Pendapat Ketiga.
Khuluk adalah fasakh (Penghapusan akad Nikah) dan bukan talak. Ini pendapat Ibnu Abbas, Syafi,i , Ishaq bin Rahuyah dan Daud Azzahiri . Menurut mereka seandainya suami melakukan khuluk sepuluh kalipun, ia masih boleh menikahi mantan istrinya dengan akad nikah baru sebelum menikah dengan yang lainnya.
Dari ketiga pendapat di atas, maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat ketiga dengan alasan sebagai berikut:
a. Bahwa Firman Allah SWT dalam surah al-baqarah ayat 229-230 diatas, menjelaskan bahwa talak hanya dua kali kemudian Allah menyebut khuluk dan di akhiri dengan firman allah : Fain Thollaqoha Fa la Tahillu lahu, (Kemudian jika suami mentolaknya /sesudah talak kedua, maka perempuan itu tidak halal baginya). Dengan demikian jika khuluk dipandang sebagai talak, maka jumlah talak suami menjadi empat, sehingga talak yang tidak halal lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah talak yang keempat.
Disamping itu Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai seseorang yang mentalak istrinya dua kali kemudian sang istri melakukan gugat cerai melalui khuluk , apakah ia boleh menikahinya lagi. ? Beliau menjawab bahwa Allah SWT telah menyebut talak diawal ayat dan diakhirnya, sedangkan khuluk diantaranya,. Dan khuluk bukan talak .oleh karenanya ia boleh menikahinya..
b. Hadis Rubayyi Binti Muawwiz yang berbunyi, bahwa beliau melakukan khuluk pada zaman nabi, lalu nabi memerintahkan untuk menunggu satu kali haid. (HR Tirmizi) dengan demikian Bila khuluk talak, maka nabi pasti memerintahkan Rubayyi menunggu tiga kali haid.
c. Syariat tidak menetapkan tiga hal pada khuluk, yaitu 1. Suami lebih berhak di terima rujuknya, 2. dihitung tiga kali, karena istri tidak bisa menikah dengan mantan suami kecuali pabila setelah menikah dengan laki-laki lain dan sudah berhubungan suami istri denga laki-laki tersebut. 3. Iddahnya tiga kali quru, Dengan demikian tidak ada yang namanya rujuk dalam khuluk.

Akibat Hukum Khuluk
Hukum sebagaimana halnya dengan talak. Paling tidak bila di analisa pendapat para ulama di atas, maka khuluk mengandung konsekwensi Hukum sebagai berikut:
1. Khuluk tidak dianggap dalam hitungan talak. Bila seseorang telah melakukan khuluk padahal ia telah melakukan dua kali talak , maka masih dibolehkan menikahi istrinya tersebut, walaupun khuluk terjadi lebih dari satu kali.
2. Istri yang melakukan khuluk hanya mempunyai masa iddah satu kali, berdasarkan hadis Rubayyi Binti Muawwiz di atas.
3. Khuluk di bolehkan kapan saja, walaupun istri dalam keadaan haid atau suci yang telah digauli, karena khuluk di syariatkan untuk menghilangkan kemudhratan yang menimpa wanita, bisa karena faktor buruknya pergaulan suami, atau istri tinggal dengan suami yang dibencinya/tidak disukai. Maka logis bila khuluk tidak mempertimbangkan keadaan istri .


Khuluk dalam Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991
Masalah khuluk diatur dalam pasal pasal 148 ayat 1 Kompilasi Hukum islam tahun 1991 yang berbunyi “ Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alas an-alasannya.”
Selanjutnya dalam pasal 124 KHI berbunyi “ Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116. “. Dari kedua pasal tersebut, nampak terlihat bahwa KHI berupaya untuk mengakomodir perceraian melalui jalan khuluk karena syariat telah menetapkan kebolehannya. Akan tetapi pengaturan khuluk dalam KHI tidak sedetail sebagaiman halnya cerai talak ataupun cerai gugat. KHI hanya mengakomodir khuluk dalam batasan yang sangat sempit dalam dua pasal di atas. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 1 tentang perkawinan, PP No. 9 tahun 1975 dan Undang-Undang No 7 tahun 1989 yang diubah menjadi Undang –Undang No 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sama sekali tidak ada menyinggung perceraian melalui jalan khuluk.
Dalam pasal 148 ayat 4 lebih tegas dinyatakan “ … Terhadap penetapan ini tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.” Ketentuan ini akan membedakan khuluk dari cerai talak dan cerai gugat. Karena khuluk tidak sampai menunggu 14 hari dari penetapan yang telah di jatuhkan. Penetapan itu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap (BHT) pada hari itu juga . Suami dan istri telah sepakat menerima perceraian melalui tebusan yang telah disepakati , jadi tidak ada hal yang menjadi keberatan bagi kedua belah pihak atas proses perceraian, sehingga hal tersebut menutup pintu banding maupun kasasi.

Permasalahan Penerapan Khuluk
Meskipun secara limitatif khuluk telah diatur dalam KHI sebagaimana tersebut di atas, namun dalam pelaksanaan dan penerapannya mempunyai permasalahan baik dari sisi materil maupun formil.
1. Sisi materil.
Dalam pasal 124 KHI dinyatakan bahwa khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116. Ketentuan ini akan mengalami tumpang tindih antara alasan perceraian melalui cerai talak , cerai gugat dengan khuluk. Bila cerai melalui jalan khuluk mesti dikaitkan dengan pasal 116 , betapa istri mengalami ketidakadilan, serasa dizalimi dan disakiti hak-haknya dalam perceraian. Sudah suami berbuat zina, pejudi, peminum-minuman keras yang sukar disembuhkan , atau suami telah melakukan penganiayaan terhadap istrinya dan seterusnya. Istri ketika ingin bercerai masih harus membayar tebusan (Iwadh) kepada suami yang menzalimi dan menyakiti hatinya. Di sisi lain suami yang sudah berkhianat, berbuat zalim , menganiaya istri masih mendapatkan uang tebusan (Iwadh) dari istri. Bak kata pepetah sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Sungguh malang nasibmu istri. Bila demikian maka ketentuan pasal 124 KHI di atas, sungguh sangat membelenggu sehingga istri yang akan bercerai melalui jalan khuluk harus mencari-cari alasan sebagaimana yang dikehendaki pasal 116 KHI. Padahal adanya lembaga khuluk pada hakikatnya adalah untuk melunakkan hati suami agar mau mengabulkan keinginan istri untuk bercerai dari suaminya. Sebaliknya bila istri yang akan menggugat cerai memiliki alasan sebagaimana tersebut dalam pasal 116 KHI di atas, buat apa ia mencari jalan perceraian melalui khuluk, ia bisa langsung menggunakan alasan-alasan pasal 116 KHI dengan jalan cerai gugat tanpa harus dibebani dengan uang iwadh .
Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa perceraian melalui jalan khuluk merupakan hal yang berbeda sekaligus istimewa. Khuluk sangat berbeda baik segi hakikat, tujuan dan teknis pelaksaanaannya. Mungkin inilah salah satu kendala kenapa khuluk jarang diterapkan di Pengadilan Agama. Salah satu alas an yang bisa menampung keinginan bercerai dari suami , biasanya dengan menggunakan alasan pasal 116 KHI huruf f yakni “terjadinya pertengkaran/perselisihan terus menerus yang sulit diharapkan rukun kembali”. Oleh sebagian kalangan sering mengkleim bahwa alasan huruf f ini merupakan alasan Tong sampah dalam perceraian disebabkan kelenterunnya ,sehingga dapat mengakomodir seluruh keinginan pihak-pihak yang ingin bercerai meskipun terkadang belum memenuhi ketentuan syar’i.
Oleh karenanya, ada baiknya kita kembali kepada ketentuan al-quran dan hadis mengenai khuluk. Secara implisit dapat dipahami bahwa hal pokok yang menjadi alasan khuluk bagi istri berdasarkan nash syar,i karena kekhawatiran tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Hal ini bisa disebabkan istri tidak mencintai suami , Suami tidak menjalankan perintah agama, suami mengajak kepada kemaksiatan, kesyirikan, bahkan kemurtadan. Atau suami sangat buruk akhlaknya sehingga istri bisa terpengaruh. Dari sini bisa di pahami bahwa perceraian melalui jalan khuluk berorientasi kepada nilai-nilai keimanan dan ketauhidan kepada Allah SWT. Bukan didasarkan atas sebab-sebab terganggunya unsur pisik dan materi. Dan karenanya mempertahankan nilai keimanan dan ketauhidan bagi istri, jauh lebih berharga dari dari ikatan perkawainan itu sendiri . Meskipun idialnya ikatan perkawinan harus dilandasi nilai keimanan dan ketauhidan kepada Allah SWT.
Dan bila dilihat alasan-alasan perceraian yang terdapat dalam pasal 39 Penjelasan Undang No.1 tahun 1974 , pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, pasal 116 KHI tahun 1991 menurut hemat penulis hanya mengakomodir alasan-alasan yang bersifat pisik dan materi yang berimplikasi kepada terganggunya harmonisasi hubungan suami istri dalam rumah tangga. Sementara hal-hal yang bersifat psikis /spiritual berupa keteguhan dalam mempertahankan nilai-nilai keimanan dan ketauhidan yang tercermin melalui kehendak khuluk istri tidak terakomodir dari ketentuan perundang-undangan di atas.
Kalau dalam kenyataannya istri mengajukan perceraian melalui jalan khuluk dengan alasan suami tidak mau shalat, ikut aliran sesat, buruk akhlak, istri tidak mencintai suami karena suami buruk rupanya, gemar melakukan perbuatan maksiat, khurafat dan syirik ,membujuk istri agar murtad, sehingga memunculkan kekhawtiran istri tidak dapat menjalankan perintah Allah, apakah gugatan perceraian istri melalui khuluk , tidak di terima ?
Sulit rasanya bila hakim dalam hal ini hanya terpaku pada ketentuan pasal 124 KHI dengan mengesampingkan ketentuan nash al-quran maupun hadis seperti dijelaskan diatas. Padahal kehadiran KHI merupakan upaya untuk menerapkan dan mengamalkan nash al-quran dan hadis dalam bidang perkawinan, Kewarisan, Perwakapan. Oleh karenanya di tangan hakimlah upaya penegakan syariat dapat berjalan dengan murni dan konsekwen dengan mengacu kepada sumber utama yaitu al-quran dan hadis.
2. Sisi Formil
Dalam pasal 148 ayat 5 KHI dinyatakan bahwa dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadh Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa. Ketentuan ini memberi pengertian bahwa khuluk merupakan perkara luar biasa atau istimewa yang sangat berbeda dengan perkara lainnya.
Keistimewaan khuluk dengan perkara perceraian biasa dilihat dari sisi formilnya dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pengucapan ikrar talak suami diucapkan langsung pada hari sidang itu juga.
2. Khuluk tidak menunggu masa 14 hari untuk berkekuatan hukum tetap.
3. Tidak ada upaya banding dan kasasi (pasal 148 ayat 6)
4. Iddahnya hanya satu kali haid/suci.
5. tidak ada hitungan talak dan boleh dilakukan berulang-ulang.
Dalam perkara perceraian biasa, hakim tidak bisa lari dari ketentuan hukum acara berlaku. Hakim harus menerapkan langkah-langkah pemeriksaan yang telah diatur secara limitatif mulai dari pembacaan gugatan,jawaban,Replik,duplik pembuktian dari Penggugat/Pemohon,Pembuktian dari tergugat/Termohon, kesimpulan dan pembacaan putusan. Lalu bagaimana dengan perkara khuluk ,apakah pemeriksaannya harus memalui tahapan-tahapan sebagaimana perkara biasa. Lalu kenapa muncul ketentuan pasal 148 ayat 4 yang memberi arah bahwa bila telah terjadi kesepakatan tentang besarnya uang iwadh Pengadilan dalam ini hakim langsung memberi penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di sidang Pengadilan Agama?
Dengan mengacu kepada ketentuan pasal 148 ayat 4 di atas perkara khuluk diselesaikan bukan berpedoman kepada hukum acara biasa, tetapi penerapan hukum acaranya bersifat istimewa atau luar biasa. Lantas bagaimana gambaran beracara secara istimewa atau luar biasa tersebut? Disinilah masih diperlukan kajian hukum acara istimewa atau luar biasa. Karena selama ini belum ada ketentuan baku yang mengatur akan hal tersebut.

IX. Penutup.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa perceraian melalui jalan khuluk merupakan hal diatur dalam syari’at Islam . Bila syari’at meletakkan hak talak di tangan suami, maka khuluk diletakkan ditangan isteri. Syari’at Islam meletakkan hak suami dan isteri secara berimbang baik dalam perkawinan maupun ketika terjadi perceraian.
Dalam penerapannya, lembaga khuluk termasuk yang jarang diterapkan pelaksanaannya ketika terjadi perceraian di Pengadilan Agama. Meskipun Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 telah membuka perceraian melalui jalan khuluk, namun secara formil bagaimana khuluk diterapkan dipersidangan masih membutuhkan ketantuan hukum acara yang bersifat istimewa atau luar biasa. Karena ketentuan hukum acara berlaku saat ini belum mengakomodir akibat hukum yang ditimbulkan lembaga khuluk, seperti pengucapan ikrar talak langsung pada hari itu juga, tidak menunggu masa 14 hari untuk berkekuatan hukum tetap, tidak ada banding dan kasasi, iddhah siteri hanya satu kali, dan tidak ada hitungan talakbdan boleh dilakukan berulang-ulang.
Tentunya hal tersebut tidak dikenal dalam hukum acara yang sudah baku dan berlaku dilingkungan Peradilan Agama.