Thursday 2 December 2010

Zihar

Kata zihar terambil dari kata zaher yang berarti punggung. Secara umum zihar dapat didefinisikan sebagai ucapan seorang mukallaf (dewasa dan berakal) kepada wanita yang halal digaulinya bahwa ia sama dengan salah seorang yang haram digaulinya baik karena hubungan darah, perkawinan, penyusuan, maupun oleh sebab yang lain. Dalam kasus ini maka ia terkena zihar.

"Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." - "Orang-orang yang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." - "Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
" - "Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih." [Al-Mujadilah: 1-4]

Kisah Tentang Zihar

Allah swt mengabadikan kisah ketegaran dan keberanian seorang wanita justru di awal surah yang mengawali juz ke 28 agar mudah ditemukan. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa wanita itu bernama Khaulah binti Tsa´labah yang telah diperlakukan secara ‘zihar’ oleh suaminya Aus ibn Shamit, yaitu dengan mengatakan kepada isterinya: “Kamu bagiku seperti punggung ibuku” dengan maksud dia tidak boleh dan tidak akan menggauli isterinya kembali, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat Jahiliyah saat itu, ungkapan zihar secara hukum sama dengan mentalak isteri. Maka Khaulah mengajukan gugatan kepada Rasulullah s.a.w seraya meminta kepastian hukum tentang perilaku suaminya tersebut. Rasulullah menjawab bahwa dalam hal persoalan ini belum ada keputusan dari Allah swt sehingga Rasulullah mengatakan: “Engkau telah diharamkan bersetubuh dengan dia”. Khaulah kembali menyampaikan argumentasinya: “Suamiku belum mengeluarkan kata-kata talak”. Berulang kali Khaulah mendesak Rasulullah supaya menetapkan suatu keputusan hukum tentang persoalan yang dihadapinya. Maka turunlah ayat ini dan ayat-ayat berikutnya yang menjelaskan secara rinci hukum hakan seputar zihar yang belum pernah ada sebelumnya.

Dalam riwayat yang lebih rinci dari Aisyah, wanita yang bernama Khaulah binti Tsa’labah (sesuai dengan nama bapaknya) atau Khaulah binti Khuwailid (nisbah kepada nama kakeknya) menuturkan kepedihan hatinya atas perilaku suaminya yang melakukan zihar terhadap dirinya, “Wahai Rasulullah, ia telah merenggut masa mudaku dan aku hamil karenanya. Namun ketika aku berusia lanjut dan tidak mampu melahirkan anak kembali, ia malah menziharku. Aku tidak kuasa menahan keperihan ini karena aku memiliki anak yang banyak. Jika aku menyerahkan anak-anakku kepadanya bisa jadi mereka akan kelaparan karena kemiskinan suamiku. Namun jika anak-anakku yang masih kecil bersamaku, maka mereka akan merasakan kehilangan bapaknya. Wahai Rasulullah, putuskanlah untuk kami yang bisa mengumpulkan kami kembali bersamanya karena ia telah menyesali perbuatannya”. Rasulullah menjawab: “Ia telah diharamkan untuk kamu”. Wanita itu terus mengadukan persoalannya kepada Rasulullah sambil menengadah ke langit memohon kasih sayang Allah. Lantas Allah menurunkan ayat ini sebagai jawaban atas peristiwa zihar yang melibatkan diri dan suaminya.

Jelas zihar merupakan ungkapan yang menyakitkan hati seorang wanita, karena kata-kata seperti itu jelas menunjukkan sikap suami yang tidak memperdulikan atau cenderung tidak menghargai pengorbanan dan layanan isterinya. Bahkan ia tega mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan seakan-akan ia tidak pernah merasakan manisnya kehidupan suami isteri selama ini. Sungguh di luar dugaan Khaulah memang, bagaimana mungkin suami yang sangat disayanginya tiba-tiba berubah sikap dan mulai berani mengeluarkan kata-kata ketus yang menyinggung perasaannya justru di saat ia mendambakan hadirnya cinta yang tulus dari suaminya memasuki usia lanjut keduanya..

Peristiwa ini benar-benar membekas di hati isteri Rasulullah, Aisyah ra. Ia berujar seraya memuji wanita tersebut: “Segala puji milik Allah yang luas pendengaranNya meliputi segala suara. Telah datang seorang wanita yang mengadu persoalannya kepada Nabi. Saya tidak dapat mendengar pengaduannya padahal saya berada di sisi rumah dan Allah Maha Mendengar dengan menurunkan ayat ini”. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah)

Tentu merupakan suatu hal yang luar biasa manakala Allah langsung mendengar aduan dan jeritan hati seorang wanita yang ingin mengetahui kepastian hukum dengan suaminya. Bahkan Allah menurunkan jawaban langsung tentang persoalan yang diperselisihkan tersebut. Padahal ia hanya seorang wanita biasa, bukan wanita yang memiliki kedudukan istimewa di sisiNya. Namun begitulah Allah hadir untuk siapapun yang benar-benar mengadukan jeritan hatinya dengan tulus hanya kepadaNya.

Setelah turun jawaban dari Allah melalui ayat ini, Rasulullah memanggil Aus bin Shamit suami Khaulah: “Apakah gerangan yang membuatmu berlaku demikian?”. ia menjawab: “Syaitan yang menggodaku”. Rasulullah bertanya lagi: “Apakah kamu kuat untuk berpuasa?”. “Tidak ya Rasulullah”. Kalau begitu apakah kamu mampu memerdekakan hamba sahaya”. “Tidak juga wahai Rasulullah, aku tidak memiliki harta yang banyak untuk memerdekakan budak”. Rasulullah bertanya untuk ketiga kalinya: “Apakah kamu bisa memberi makan kepada 60 orang miskin”. Ia menjawab: “Justru sayalah orang sangat membutuhkan bantuan”. Maka Rasulullah memberinya 15 sha’ yang ia sedekahkan kepada 60 fakir miskin”. (Diriwayatkan oleh Abu Daud)

Sejak peristiwa besar yang mengangkat posisi wanita ini, Umar bin Khattab ra siap untuk mendengarkan nasihat wanita tersebut kapanpun, seperti yang diriwayatkan bahwa suatu hari Umar berjalan bersama pengawalnya persis di depan Khaulah binti Tsa’labah. Lantas wanita itu memberhentikan langkah Umar dan berbicara kepadanya seraya menasehati: “Bertakwalah wahai Amirul Mu’minin, karena seorang yang yakin dengan kematian ia takut terlewat (tidak beramal) dan siapa yang takut dengan hisab, pasti ia takut dengan azab”. Umar menyimak nasehat wanita tersebut dengan cermat tanpa berganjak sedikitpun sehingga para pengawalnya berkata, “Wahai Khalifah, siapa gerangan wanita tua ini? Engkau benar-benar tidak berganjak saat wanita itu menasehati”. Umar berkata: “Ketahuilah, seandainya wanita ini menghentikan perjalananku dari siang hingga malam, aku akan menurutinya walau dalam keadaan apapun kecuali untuk shalat. Tidakkah kamu tahu, inilah wanita yang didengar pengaduannya langsung oleh Allah dari langit ke tujuh. Jika Allah berkenan mendengar aduan wanita tersebut, kenapa Umar tidak?”.

Demikian sepenggal kisah yang menyentuh sisi ketegaran dan keberanian seorang wanita dibalik kelembutan dan ketidakberdayaannya menghadapi perilaku suami yang cenderung tidak perduli dengan perasaan seorang isteri yang telah berbuat banyak hal untuk dirinya. Kisah penghargaan Allah yang istimewa terhadap sosok wanita tentu harus menjadi pelajaran yang berharga bagi keluarga manapun, bahwa hak seorang isteri mutlak harus dipenuhi selaras dengan pengorbanan dan peran besarnya dalam membina rumah tangga yang harmonis dibawah naungan ridha Allah swt.