Thursday, 2 December 2010

Peranan Umat Islam dalam Mempersiapkan dan Meletakkan Dasar-dasar Indonesia Merdeka.

Dalam upaya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, tidak disangsikan lagi peran kaum muslimin terutama para ulama. Mereka berkiprah dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk tanggal 1 maret 1945. Lebih jelas lagi ketika Badan ini membentuk panitia kecil yang bertugas merumuskan tujuan dan maksud didirikannya negara Indonesia. Panitia terdiri dari 9 orang yang semuanya adalah muslim atau para ulama kecuali satu orang beragama Kristen. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs.Moh.Hatta, Mr.Moh.Yamin, Mr.Ahmad Subardjo, Abdul Kahar Mujakir, Wahid Hsyim, H.Agus Salim, Abi Kusno Tjokrosuyono dan A.A. Maramis (Kristen)
Meski dalam persidangan-persidangan merumuskan dasar negara Indonesia terjadi banyak pertentangan antar (mengutip istilah Endang Saefudin Ansori dalam bukunya Piagam Jakarta) kelompok nasionalis Islamis dan kelompok nasionalis sekuler. Kelompok Nasionalis Islamis antara lain KH. Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH.Wahid Hasyim, Ki Bagus dan Abi Kusno menginginkan agar Islam dijadikan dasar negara Indonesia. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler dibawah pimpinan Soekarno menginginkan negara Indonesia yang akan dibentuk itu netral dari agama. Namun Akhirnya terjadi sebuah kompromi antara kedua kelompok sehingga melahirkan sebuah rumusan yang dikenal dengan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, yang berbunyi :
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan itu disetujui oleh semua anggota dan kemudian menjadi bagian dari Mukaddimah UUD 45. Jadi dengan demikian Republik Indonesia yang lahir tanggal 17 Agustus 1945 adalah republik yang berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya Meskipun keesokan harinya 18 Agustus 1945 tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dihilangkan diganti dengan kalimat “Yang Maha Esa”. Ini sebagai bukti akan kebesaran jiwa umat Islam dan para ulama. Muh. Hatta dan Kibagus Hadikusumo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan” Yang Maha Esa” tersebut tidak lain adalah tauhid.
Saat proklamasipun peran umat Islam sangat besar. 17 Agustus 1945 itu bertepatan dengan tangal 19 Ramadhan 1364 H. Proklamasi dilakukan juga atas desakan-desakan para ulama kepada Bung Karno. Tadinya Bung Karno tidak berani. Saat itu Bung Karno keliling menemui para ulama misalnya para ulama di Cianjur Selatan, Abdul Mukti dari Muhammadiyah, termasuk Wahid Hasyim dari NU. Mereka mendesak agar Indonesia segera diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
Demikian penting peran ulama di mata Bung Karno. Setelah Indonesia diproklamasikan, Bung karno masih terus berkeliling terutama minta dukungan para ulama dan rakyat Aceh. Di bawah pimpinan ulama-ulama Aceh seperti Daud Beureuh, Teuku Nyak Arief, Mr. Muhammad Hasan, M.Nur El Ibrahimy, Ali Hasyimi dan lain-lain, rakyat Aceh segera menyambut dengan gegap gempita. Dukungan mereka bukan hanya lisan tapi juga berbentuk sumbangan materi, yaitu berupa uang 130.000 Straits Dollar dan emas seberat 20 kg untuk pembelian pesawat terbang.
Saat itu Soekarno sempat berjanji di hadapan Daud Beureuh, bahkan sampai mengucapkan sumpah. ”Demi Allah, Wallahi, saya akan pergunakan pengaruh saya agar nanti rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanaan syari’at Islam”, demikian ucapan Soekarno untuk meyakinkan Daud Beureuh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, syari’at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini. Tapi janji itu hanya sekedar janji, tidak pernah diwujudkan. Inilah yang menyebabkan Daud Beureuh kemudian memberontak kepada pemerintah pusat dan bergabung dengan S.M.Kartosuwiryo yang juga dikecewakan oleh Soekarno, teman seperguruannya waktu nyantri di HOS Cokroaminoto.
Sesungguhnya perjuangan para ulama begitu besar dalam mengantarkan Indonesia merdeka tidak lepas dari motivasi bagaimana Indonesia yang akan dibangun ini harus berdasarkan syari’at Islam. Namun banyak dari golongan nasionalis meski mereka beragama Islam (misalnya Soekarno dkk) tidak setuju dengan cita-cita para ulama di atas. Kelompok Nasionalis inilah sangat berperan dalam penghapusan 7 kata dalam piagam Jakarta. Inilah yang kemudian menjadi ganjalan dan kekecewaan bagi para ulama. Sehingga beberapa tokoh Islam seperti Kartosuwiryo (Jawa Barat), Kahar Muzakir (Sulawesi Selatan), Letnan I Ibnu Hajar (Kalimantan Selatan) dan Daud Beureuh (Aceh) terpaksa harus angkat senjata berjuang kembali untuk mewujudkan NII yang dicita-citakan, meskipun mereka kemudian dicap sebagai pemberontak.