Friday, 14 October 2011

Infak, wakaf dan Hadiah

Infak di dalam bahasa Arab artinya menafkahkan atau membelanjakan harta. Sementara lapangan infak itu sendiri luas jangkauannya, karena pengertian berinfak itu berarti membelanjakan harta sesuai dengan tuntunan agama dan termasuk didalamnya adalah wakaf, hadiah dan hibah. Didalam kitab suci Al-Qur’an terdapat surat bernama Ath-Thalaq khususnya ayat tujuh dan Allah SWT berfirman dalam surat ini ayat tujuh.

• Perhatikan Firman-Nya :
”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah SWT kepadanya. Allah SWT tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah SWT berikan kepadanya. Allah SWT kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”

Berdasarkan ayat tersebut diatas, yang diperintahkan untuk berinfak bukan hanya orang-orang kaya saja tetapi juga orang –orang yang bukan orang-orang kaya. Artinya semua orang diperintahkan untuk berinfak sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Sidang pembaca, antum pernah mengeluarkan uang untuk membeli (belanja) sesuatu? Apa yang antum dapat dari uang yang (misalnya) Rp. 1.000,- tentu sesuatu (barang) yang didapat adalah benda yang senilai (seharga) Rp. 1.000- itu juga bukan? Tidak mungkin dengan uang yang Rp. 1.000,- akan mendapat barang (ditukar) dengan yang lebih tinggi nilainya dari Rp. 1.000,- Tetapi sidang pembaca, tahukah antum bahwa ada barang (benda) seharga Rp. 700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah) yang dapat kita beli hanya dengan uang Rp. 1.000,- saja. Atau barang (benda) senilai Rp. 350.000,- (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) dapat kita beli dengan hanya mengeluarkan uang sebesar Rp. 500,- saja. Dan yang menakjubkan adalah bahwa justru yang menghendaki transaksi seperti itu adalah sipemilik barang itu sendiri. Tidak percaya? Baca Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 261

• Firman Allah SWT :
”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai pada tiap-tiap tangkai seratus biji ....” (QS. Al-Baqarah : 261)

Betulkan? Bahwa Allah SWT sendiri (sebagai pemilik barang yang bernama pahala itu) yang berjanji akan melipatgandakan pahala orang yang berinfak sebanyak 700 (tujuh ratus) kali lipat.

setelah kita mengetahui setentang apa itu pengertian infak. Mari kita mulai lagi pembahasan materi yaitu setentang apa itu pengertian wakaf.

Wakaf adalah memberikan harta yang bersifat kekal (tahan lama) dan bermanfaat untuk kepentingan umum di jalan Allah. Misalnya memberikan sebidang tanah untuk pembangunan sebuah Masjid, Musholla, Madrasah, Panti Asuhan, Pondok Pesantren, Jalan-jalan untuk kepentingan umum dan lain-lain.Hukum wakaf adalah Sunnah, yaitu berpahala bagi yang melakukannya dan tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya. Diantara dalil-dalil yang mendasari ibadah wakaf adalah :

• Firman Allah SWT :
”Kamu sekali-sekali tidak sampai pada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imron : 92)

Wakaf merupakan salah satu ibadah yang pahalanya tidak akan putus selama manfaat harta yang di wakafkan itu masih bisa diambil, meskipun sipelaku wakaf sudah meninggal dunia. Oleh karena itulah wakaf tergolong kedalam kelompok amal jariyah (yang mengalir).

• Perhatikan Sabda Nabi Muhammad SAW :
”Apabila anak Adam (manusia) meninggal, putuslah amalnya kecuali tiga perkara : yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendo’akan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim)

• Wakaf memiliki syarat dan rukun yang akan menentukan syah atau tidaknya ibadah tersebut. Adapun rukun wakaf, menurut Jumhur ulama adalah :

a. Orang yang memberi wakaf
b. Pihak yang menerima wakaf
c. Barang yang hendak diwakafkan
d. Akad wakaf (lafadz serah terima)

Selain beberapa rukun wakaf tersebut ada syarat tertentu yang harus dipenuhi agar wakaf dipandang syah.

1. Syarat orang yang berwakaf :
a. Merdeka, tidak berada dibawah pengaruh orang lain
b. Sudah dewasa atau baligh
c. Berakal sehat
d. Harta yang diwakafkan benar-benar miliknya sendiri.

2. Syarat orang yang menerima wakaf :
a. Harus jelas penerimanya
b. Harus jelas penggunaannya, yakni kebajikan serta mendekatkan diri kepada Allah SWT
c. Cakap

3. Syarat harta yang diwakafkan :
a. Milik syah pewakaf
b. Tertentu dan jelas
c. Dapat dimanfaatkan secara terus menerus
d. Tidak dibatasi waktunya.

Dalam prakteknya, wakaf terbagi menjadi dua yaitu wakaf ahli (wakaf keluarga) dan wakaf khairi (wakaf umum). Wakaf ahli yaitu wakaf yang diberikan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih. Misalnya mewakafkan sebidang tanah kepada seorang kyai. Sedangkan wakaf khairi yaitu wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum (orang banyak) misalnya mewakafkan tanah untuk membangun musholla, masjid atau madrasah. Manfaat yang diperoleh dari ibadah wakaf ini sangat besar, baik bagi diri yang mewakafkan maupun terutama bagi masyarakat dan agama. Bagi diri pewakafnya, manfaat dari wakaf antara lain dapat mengangkat derajat ketakwaannya disisi Allah SWT.

Adapun bagi masyarakat, manfaat wakaf antara lain :
1. Sebagai sumber dana untuk kepentingan umat Islam
2. Mempermudah kesulitan yang dihadapi dalam membangun sarana dan prasarana yang bersifat sosial dan keagamaan.
3. Meningkatkan syiar Islam.

• Barang yang diwakafkan dapat diganti dengan yang lebih baik. Penggantian barang dalam wakaf ada dua macam :

1. Penggantian karena kebutuhan, misalnya barang wakaf berupa Masjid dan tanahnya, apabila telah rusak dan tidak mungkin lagi digunakan, maka tanahnya di jual untuk menggantikannya. Hal ini diperbolehkan karena apabila barang asal sudah tidak dapat lagi digunakan sesuai tujuan, maka dapat diganti dengan barang lainnya.

2. Penggantian karena kepentingan yang lebih kuat. Hal ini diperbolehkan menurut Imam Ahmad dan Ulama lainnya. Imam Ahmad beralasan bahwa Umar bin Khattab r.a. pernah memindahkan Masjid Kufah yang lama ketempat yang baru dan tempat yang lama itu dijadikan pasar bagi penjual tamar (ini adalah contoh penggantian barang wakaf yang berupa tanah)

Adapun penggantian barang wakaf yang berupa bangunan, Khalifah Umar bin Khattab dan Usman bin Affan pernah membangun Masjid Nabawi tanpa mengikuti bentuk (bangunan) pertama dan memberi tambahan bentuk bangunannya. Oleh sebab itu, diperbolehkan mengubah bangunan wakaf dari bentuk lama ke bentuk yang baru asalkan menjadi lebih baik.

• Sementara pengertian Hadiah adalah :
Hadiah adalah suatu pemberian kepada orang lain, baik dimaksudkan untuk cenderamata, ungkapan terima kasih maupun sebagai penghargaan atas suatu prestasi. Hadiah tidak harus berbentuk benda. Melainkan juga bisa berupa tenaga, pikiran atau sikap dan tingkah laku yang menyenangkan. Sebab tujuan dari hadiah itu sendiri adalah untuk menyenangkan orang lain, sebagai ungkapan rasa ikut senang atas apa yang diraihnya. Karena itulah orang bisa memberikan hadiah pada saat pesta ulang tahun, perta perkawinan atau ketika orang terdekatnya meraih suatu prestasi tertentu.

• Rasulullah SAW bersabda :
”Memberikan senyuman kepada saudaramu termasuk shadaqah.” (HR. Bukhari)
Hadiah hukumnya mubah (dibolehkan) dan bahkan dianjurkan (mandub, sunnah.)

• Sebuah Hadist dari Abu Hurairah r.a. :
”Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda : Saling memberilah kamu, niscaya kamu akan saling kasih mengasihi.” (HR. Malik)

Saudaraku, perbedaan antara hadiah dan risywah (sogok, suap) adalah sangat kecil sekali. Oleh karena itulah, dalam perjalanan sejarah, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz pernah mengharamkan hadiah. Karena pada masa itu Sayyidina Umar bin Abdul Aziz melihat bahwa gejala yang terjadi ditengah masyarakat dalam pemberian dan penerimaan hadiah tidak lagi murni sebagai sebuah hadiah tetapi sudah mengarah kepada suap (risywah). Lantas bagaimana dan apa yang harus kita lakukan (perbuat) jika kita oleh seseorang diberi hadiah? Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk menerima hadiah yang diberikan seseorang dan tidak menolaknya. Bahkan jika mungkin kita di anjurkan untuk membalas pemberian itu.

• Nabi SAW bersabda :
”Barangsiapa diberi hadiah oleh saudaranya dengan tidak berlebihan dan tidak mendatangkan masalah, hendaknya menerimanya dan tidak menolaknya. Karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang dikirimkan Allah kepadanya.” (HR. Ahmad)

Kemudian bagaimana mengenai pemberian balik kepada orang yang memberi kita hadiah? Dalam sebuah hadist disebutkan sebagai berikut :

• Dari Aisyah r.a. dia berkata :
”Dari Aisyah r.a. dia berkata : Adalah Rasulullah SAW menerima hadiah dan membalasnya pula.” (HR. Bukhari)

• Sekarang pengertian setentang hibah dan apakah itu? Apabila seseorang memberikan harta miliknya kepada orang lain, berarti ia menghibahkan miliknya itu. Sebab itulah, kata hibah sama artinya dengan istilah pemberian. Adapun secara istilah, hibah berarti memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan apa-apa. Jika seseorang menghibahkan sesuatu kepada orang lain, itu artinya ia bersedia melepaskan hak miliknya atas benda yang dihibahkan itu. Jadi, ketika akad hibah sudah dilangsungkan, pihak penerima sudah mempunyai hak penuh atas harta itu sebagai hak miliknya sendiri. Hibah hukumnya sunnah (dianjurkan). Karena itulah, Islam menganjurkan umatnya agar melatih diri memberi kepada orang lain, lebih-lebih kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Dan, bahkan didalam surat Al-Baqarah ayat 177 dikatakan bahwa diantara perbuatan yang termasuk kebajikan adalah memberikan harta yang dicintai kepada orang lain.

• Firman Allah SWT :
”..... dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta – minta.” (QS. Al-Baqarah : 177)

Menurut ajaran Islam, hibah meskipun hanya merupakan suatu akad permberian dan yang bersifat untuk mempererat silaturrahmi tetapi tetap memiliki syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Karena bagaimana pun juga hibah merupakan suatu tindakan hukum sebab berkaitan dengan pemindahan hak milik seseorang.

• Adapun rukun hibah adalah :

1. Orang yang menghibahkan
2. Orang yang menerima hibah
3. Akad (Ijab Qabul)
4. Harta yang akan dihibahkan

Apabila seseorang sudah menghibahkan harta miliknya kepada orang lain, maka ia tidak boleh menariknya kembali, kecuali hibah seorang ayah kepada anaknya.

• Perhatikan Hadist dari Ibnu Abas r.a. berikut ini :
”Dari Ibnu Abas, Rasulullah SAW bersabda : Orang yang meminta kembali sesuatu yang dihibahkannya, ibarat anjing yang menelan kembali muntahnya.” (HR. Bukhari Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad.)

Dalam sebuah Hadist lain Rasulullah SAW bersabda : ”Tidak seorangpun boleh menarik kembali pemberiannya, kecuali pemberian ayah terhadap anaknya.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Turmudzi dan Nasa’i.)

Hibah memiliki kesamaan dengan wakaf dan hadiah dalam hal tidak adanya batasan waktu, yakni boleh dilaksanakan kapan saja. Adapun perbedaan ketiganya antara lain sebagai berikut :

1. Dalam wakaf, harta yang diwakafkan harus bersifat permanen (kekal) dan dapat dimanfaatkan terus menerus, sedangkan dalam hibah dan hadiah tidak.
2. Wakaf biasanya dilakukan semata-mata untuk mencari keridhoan Allah SWT, sedangkan hadiah sebagai rasa ikut senang atau sebagai penghargaan. Adapun hibah merupakan pemberian biasa yang dilandasi oleh rasa kasih sayang.

* (Bahan-bahan (materi) diambil dan dikutip dari buku Islam Agamaku Oleh: Tim Penyusun Fakultas Tarbiyah IAIN Kalijaga Jogyakarta)*
∙ ∙ ∙
*Artikel religius ini dapat anda temukan pada website H. Sunaryo A.Y. dengan alamat : Http://www.hajisunaryo.co.nr*